Sejak
kecil saya dilahirkan dengan postur yang tidak terlalu tinggi namun memiliki
struktur kaki dan tubuh yang kuat. Betis saya besar untuk ukuran tinggi tubuh
saya. Maka dari itu Ayah saya melarang saya untuk bermain sepak bola. Dengan
alasan, nanti jika bermain bola betis saya akan semakin besar. Namun bagi saya,
untuk bermain bola tak harus di lapangan bola. Di sekolah ketika SD, saya
bermain bola plastik dengan kawan-kawan.
Ayah
saya bukannya tidak tahu tentang ketertarikan saya terhadap dunia olahraga
khususnya sepak bola. Alih-alih memasukkan saya ke sekolah sepakbola, ayah saya
justru memasukkan saya ke sekolah bulu tangkis saat kelas 3 SD. Pada awalnya
saya memang tidak begitu suka terhadap olahraga ini, karena memang kurang
menarik bagi saya. Namun saya tetap beratih bulu tangkis dengan semangat. Dan
hasilnya saya berhasil memenangi beberapa kejuaraan saat di SD,SMP,SMA dan
kuliah.
Namun,
ketika di SMA saya mulai bermain futsal hingga kuliah. Bermain dengan
teman-teman dan kadang mengikuti turnamen saat di kuliah. Walaupun tidak pernah
menang satu kejuaraan pun. Namun ketertarikan saya terhadap sepakbola tidak
luntur. Berawal dari ajakan teman bermain sepakbola, saya kembali menemukan
keasyikan bermain olahraga ini. Akhirnya saya membeli sepatu sepakbola, yang
memang saya impikan sejak saya SD dulu.
Dan impian itu
terwujud. Saya bermain sepakbola di kampung. Saya bermain dengan para “amatir”
lainnya. Ada bapak-bapak yang perutnya
sudah menggelembung, ada anak SMA yang ikut SBB, semua bercampur menjadi satu
untuk mengolah si kulit bundar. Kejadian paling terkenang adalah, ketika
mencetak gol pertama. Sungguh perasaan yang luar biasa. Mengiring bola dengan
lari yang cepat, dan menyelesaikan peluang dengan satu tendangan. Oh,,,,
beautifull. Rasa nya tak terbeli oleh uang berapapun.
Bagaikan “Cinta
Pertama”, sepakbola memiliki kenangannya sendiri. Walaupun kenangan itu
tertutup oleh yang lainnya namun tak mungkin akan dilupakan. Sehingga menarik
saya untuk membeli sepatu bola dan bermain dengan amatir lainnya. Saya
merayakan keamatiran saya. Tidak ada kata terlambat, bahkan untuk amatir
sekalipun.