Sabtu, 05 September 2015

Olahraga dan Pembentukan Karakter



                Sejak kecil saya sangat akrab dengan dunia olahraga. Pada usia 3 tahun saya mendapat hadiah sepeda. Dengan sepeda itu saya sangat senang, setiap hari saya mengelilingi komplek rumah saya dengan sepeda itu.  Sangat senang rasanya menggerakkan kaki mengayunkan pedal dan menyusuri jalanan, ditambah dengan beberapa teman yang ikut bersepeda. Itu bisa dibilang olahraga pertama. Dengan sepeda itu saya pergi ke rumah2 tetangga saya. Dan kemudian saya mengenal tetangga saya namanya mas galih. Dia 5 tahun di atas saya. Tapi justru saya sangat dekat dengannya. Kemanapun dia pergi saya selalu mengikuti. Walaupun dia lebih dewasa tetapi dia tidak risih saya “kuntit” kemanapun dia pergi. Hari minggu adalah hari faforit saya karena mas galih stay di rumah. Dari jam 7-10 saya menonton kartun di televisi. Setelah itu saya pergi bergegas ke rumah mas galih untuk bermain. Bermain layangan hingga bermain tamiya dan beyblade. Di sanalah saya mengenal olahraga baru. Mas galih beserta sodaranya memainkan permainan yang saya tidak tahu sebelumnya. Dia mengayunkan alat dan memukul sebuah bola. Dan ada jaring di tengahnya. Oh ternyata olahraga ini namanya bulu tangkis. Saya mulai tertarik dengan olahraga ini. Dan saya mulai mencoba dan ternyata saya bisa. Selain main bulutangkis juga mas galih memiliki bola sepak. Kadang kami beserta anak-anak di komplek itu bermain bola bersama.
                Kenangan-kenangan kecik itulah yang membekas dan membentuk pribadi saya. Menjadi berani untuk bertemu dengan orang baru dan bermain bersama. Yang pada awalnya canggung menjadi cair karena bermain bersama. Olahraga cukup ampuh untuk mendekatkan orang dan membuat pertemanan. Dan menginjak usia 8 tahun saya kelas 3 SD. Saya tetap sering main ke rumah mas galih. Akan tetapi mulai berkurang  karena saya mulai berlatih bulutangkis secara serius. Ayah saya memanggil pelatih dari kota untuk melatih di kecamatan kami. Di sana saya mendapat banyak teman baru. Pada awalnya permainan saya biasa saja. Akan tetpi saya memiliki tekad yang kuat. Saya tidak mau setengah-setengah dalam menjalani sesuatu. Dan saya ingin terjun sepenuhya ke dalam olahraga ini. Pada awalnya saya cukup dibilang masuk kategori gendut. Namun usia 10 tahun tubuh saya mulai ideal. Semua berkat latihan keras. Dalam seminggu biasanya saya berlatih 3 kali. Mulai jam 1 hingga jam 5 sore. Cukup berat untuk kategori anak-anak seusia saya. Namun saya jalani, karena saya senang menjalaninya. Kalau kita senang menjalani segalanya akan terasa ringan.
                Waktu berjalan, dan saya mulai mengikuti kejuaraan-kejuaraan. Saya memenangkan beberapa diantaranya. Pengalaman menarik ketika pertama bertanding dan saya ketemu lawan berat. Mental saya down duluan. Namanya Patria, dia cukup lihai memainkan raket dan posturnya tinggi besar. Saya kalah namun dengan selisih yang amat tipis. Sangat disayangkan. Dan seketika itu pula air mata saya menetes. Saya menangis pelan. Saya menangis menyesal mengapa tidak bisa menang. Wajar bagi anak seusia itu menangis ketika tidak mendapat yang dia inginkan. Bahkan atlet profesionalpun kadang juga tak dapat menahan air matanya ketika dia secara dramatis kalah oleh lawannya. Dari situ saya belajar bahwa ini adalah olahraga. Kita harus mengakui kemenangan lawan, namun kita juga tidak boleh takut kepada lawan. Sebelum pertandingan usai pantang bagi kita untuk menyerah. Namun bila hasil sudah keluar, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Penyesalan memang ada, tetapi tidak boleh berlarut. Justru itu kita jadikan penyemangat untuk menutup kekurangan kita ke depan, untuk menjadi lebih kuat.
                Untuk menunjang olahraga bulutangkis saya rutin berlari. Saya lari mengelilingi lapangan tau berlari di sekitar komplek rumah. Namun saya pernah diikutkan lomba lari 5km waktu di SD. Ketika itu lomba diikuti nak-anak SD seluruh kecamatan. Dan juara 1 akan dikirim ke kejuaraan tingkat kabupaten. Saya cukup antusis. Perlombaan dimulai dan saya start dengan sangat santai. Pesertanya berjumlah sekitar 30 anak. Pada 1/3 akhir pertandingan saya masih di atas 10 besar. Saya masih dengan sangat santainya. Namun saya melihat aba-aba dari ayah saya yang berada di pinggir jalan untuk menyuruh saya sprint. Dan saya akhirnya lari sejadi-jadinya. Saya mulai merangsek masuk, menerobos kerumunan anak-anak di depan saya tanpa rasa takut.  Dan di sinilah saya sampai di urutan no 1. Tinggal 20 meter lagi finish dan ternyata saya habis. 2 anak di belakang saya menyalip begitu saja dan saya sudah tidak memiliki tenaga. Dan FINISH, saya di no 3. Saya disalip oleh dua anak tadi di akhir balapan.
                Wajah saya pucat, saya terkapar. Sepertinya saya kekurangan oksigen. Saya berbaring dan mengambil nafas dalam-dalam. Saya terlalu memaksa diri. Seharusnya sejak awal start saya tidak boleh santai. Saya harus berada di gerombolan depan. Dan itu salah saya karena terlalu santai. Dan seketika setelah saya sadar dan dapat berdiri lagi ayah saya berbicara.

“Begitulah hidup. Hidup adalah perlombaan. Lengah sedikit saja maka kau akan didahului oleh orang di belakang kamu. Tanpa permisi, tanpa basabasi mereka begitu saja mendahuluimu. Maka jalanilah sungguh-sungguh sejak awal jika kau tidak mau kalah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar