Sejak
kecil saya sangat akrab dengan dunia olahraga. Pada usia 3 tahun saya mendapat
hadiah sepeda. Dengan sepeda itu saya sangat senang, setiap hari saya
mengelilingi komplek rumah saya dengan sepeda itu. Sangat senang rasanya menggerakkan kaki mengayunkan
pedal dan menyusuri jalanan, ditambah dengan beberapa teman yang ikut
bersepeda. Itu bisa dibilang olahraga pertama. Dengan sepeda itu saya pergi ke
rumah2 tetangga saya. Dan kemudian saya mengenal tetangga saya namanya mas
galih. Dia 5 tahun di atas saya. Tapi justru saya sangat dekat dengannya. Kemanapun
dia pergi saya selalu mengikuti. Walaupun dia lebih dewasa tetapi dia tidak
risih saya “kuntit” kemanapun dia pergi. Hari minggu adalah hari faforit saya
karena mas galih stay di rumah. Dari jam 7-10 saya menonton kartun di televisi.
Setelah itu saya pergi bergegas ke rumah mas galih untuk bermain. Bermain layangan
hingga bermain tamiya dan beyblade. Di sanalah saya mengenal olahraga baru. Mas
galih beserta sodaranya memainkan permainan yang saya tidak tahu sebelumnya. Dia
mengayunkan alat dan memukul sebuah bola. Dan ada jaring di tengahnya. Oh ternyata
olahraga ini namanya bulu tangkis. Saya mulai tertarik dengan olahraga ini. Dan
saya mulai mencoba dan ternyata saya bisa. Selain main bulutangkis juga mas
galih memiliki bola sepak. Kadang kami beserta anak-anak di komplek itu bermain
bola bersama.
Kenangan-kenangan
kecik itulah yang membekas dan membentuk pribadi saya. Menjadi berani untuk
bertemu dengan orang baru dan bermain bersama. Yang pada awalnya canggung
menjadi cair karena bermain bersama. Olahraga cukup ampuh untuk mendekatkan
orang dan membuat pertemanan. Dan menginjak usia 8 tahun saya kelas 3 SD. Saya tetap
sering main ke rumah mas galih. Akan tetapi mulai berkurang karena saya mulai berlatih bulutangkis secara
serius. Ayah saya memanggil pelatih dari kota untuk melatih di kecamatan kami. Di
sana saya mendapat banyak teman baru. Pada awalnya permainan saya biasa saja. Akan
tetpi saya memiliki tekad yang kuat. Saya tidak mau setengah-setengah dalam
menjalani sesuatu. Dan saya ingin terjun sepenuhya ke dalam olahraga ini. Pada awalnya
saya cukup dibilang masuk kategori gendut. Namun usia 10 tahun tubuh saya mulai
ideal. Semua berkat latihan keras. Dalam seminggu biasanya saya berlatih 3
kali. Mulai jam 1 hingga jam 5 sore. Cukup berat untuk kategori anak-anak
seusia saya. Namun saya jalani, karena saya senang menjalaninya. Kalau kita
senang menjalani segalanya akan terasa ringan.
Waktu
berjalan, dan saya mulai mengikuti kejuaraan-kejuaraan. Saya memenangkan
beberapa diantaranya. Pengalaman menarik ketika pertama bertanding dan saya
ketemu lawan berat. Mental saya down duluan. Namanya Patria, dia cukup lihai
memainkan raket dan posturnya tinggi besar. Saya kalah namun dengan selisih
yang amat tipis. Sangat disayangkan. Dan seketika itu pula air mata saya
menetes. Saya menangis pelan. Saya menangis menyesal mengapa tidak bisa menang.
Wajar bagi anak seusia itu menangis ketika tidak mendapat yang dia inginkan. Bahkan
atlet profesionalpun kadang juga tak dapat menahan air matanya ketika dia secara
dramatis kalah oleh lawannya. Dari situ saya belajar bahwa ini adalah olahraga.
Kita harus mengakui kemenangan lawan, namun kita juga tidak boleh takut kepada
lawan. Sebelum pertandingan usai pantang bagi kita untuk menyerah. Namun bila
hasil sudah keluar, kita harus menerimanya dengan lapang dada. Penyesalan memang
ada, tetapi tidak boleh berlarut. Justru itu kita jadikan penyemangat untuk
menutup kekurangan kita ke depan, untuk menjadi lebih kuat.
Untuk
menunjang olahraga bulutangkis saya rutin berlari. Saya lari mengelilingi
lapangan tau berlari di sekitar komplek rumah. Namun saya pernah diikutkan
lomba lari 5km waktu di SD. Ketika itu lomba diikuti nak-anak SD seluruh
kecamatan. Dan juara 1 akan dikirim ke kejuaraan tingkat kabupaten. Saya cukup
antusis. Perlombaan dimulai dan saya start dengan sangat santai. Pesertanya berjumlah
sekitar 30 anak. Pada 1/3 akhir pertandingan saya masih di atas 10 besar. Saya masih
dengan sangat santainya. Namun saya melihat aba-aba dari ayah saya yang berada
di pinggir jalan untuk menyuruh saya sprint. Dan saya akhirnya lari
sejadi-jadinya. Saya mulai merangsek masuk, menerobos kerumunan anak-anak di
depan saya tanpa rasa takut. Dan di
sinilah saya sampai di urutan no 1. Tinggal 20 meter lagi finish dan ternyata
saya habis. 2 anak di belakang saya menyalip begitu saja dan saya sudah tidak
memiliki tenaga. Dan FINISH, saya di no 3. Saya disalip oleh dua anak tadi di
akhir balapan.
Wajah
saya pucat, saya terkapar. Sepertinya saya kekurangan oksigen. Saya berbaring
dan mengambil nafas dalam-dalam. Saya terlalu memaksa diri. Seharusnya sejak
awal start saya tidak boleh santai. Saya harus berada di gerombolan depan. Dan itu
salah saya karena terlalu santai. Dan seketika setelah saya sadar dan dapat
berdiri lagi ayah saya berbicara.
“Begitulah hidup. Hidup adalah
perlombaan. Lengah sedikit saja maka kau akan didahului oleh orang di belakang
kamu. Tanpa permisi, tanpa basabasi mereka begitu saja mendahuluimu. Maka jalanilah
sungguh-sungguh sejak awal jika kau tidak mau kalah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar